REVIEW FILM – TRANSFORMERS ONE (2024)
REVIEW FILM – TRANSFORMERS ONE (2024)
afi2015 – Salah satunya kritikan paling besar yang ditujukan pada Transformers versus live action besutan Michael Bay ialah watak manusia, yang bukannya menambahkan berat emosi malah berasa menjengkelkan. Dangkal. Bumblebee (2018) dan Transformers: Rise of the Beasts (2023) coba membenahi itu, tetapi Transformers One tawarkan alternative jalan keluar. Josh Cooley sebagai sutradara sanggup mengulang perolehannya di Toy Story 4 (2019), dengan mendatangkan cerita kemanusiaan tanpa watak manusia.
Ini kali ceritanya memang mengalihkan latar dari Bumi ke Cybertron, jauh saat sebelum pecahnya pertarungan di antara Autobots dan Decepticon. Optimus Prime tetap memiliki nama Orion Pax (Chris Hemsworth), dan Megatron dikenali sebagai D-16 (Brian Tyree Henry). Sebagai robot yang tidak dapat berubah karena lahir tanpa T-cog (transformation cog) hingga memiliki status “kelas bawah” dan perlu bekerja di tambang, ke-2 nya merajut pertemanan.
Kita mengetahui D-16 akan jadi jahat karena “dirusak” oleh kemampuan besar yang nanti dia dapat. Dokumen besutan Eric Pearson, Andrew Barrer, dan Gabriel Ferrari masih tidak cukup mulus memvisualisasikan peralihan itu, tetapi minimal Transformers One sudah mengingati jika persaingan Optimus-Megatron bukan semata-mata pertarungan kebaikan menantang kejahatan seperti yang diperlihatkan versus live action, tetapi sesuatu bentrokan ideologi.
Segi humanis Transformers One tiba lewat penokohan ke-2 nya
Bersama Elita (Scarlett Johansson) dan B-127 alias Bumblebee alias BADASSATRON (Keegan-Michael Key), mereka berusaha hadapi suatu hal yang menjadi musuh umat manusia di dunia riil, yaitu figure zalim yang lakukan semua muslihat buat menjaga kuasa, termasuk tutupi kebenaran. Saat Optimus masih tetap datang dengan kepercayaan diri, Megatron terkuasai kemarahan brutal.
Transformers One menunjukkan sebuah dunia gelap, yang tidak pernah membuat tidak konsisten tone saat bersatu dengan adanya banyak komedi, karena keakuratan dokumennya saat tentukan timing hingga dua hal bersimpangan itu tidak bertubrukan. Di lain sisi, dia ikut simpan keelokan. Saat beberapa protagonisnya sembunyi-sembunyi lari dari Cybertron ke arah tempat namanya “permukaan”, mereka kaget melihat panorama di situ. Keterkejutan itu dapat dijustifikasi karena visualnya memang demikian cantik.
Keelokan yang tetap dijaga sampai saat filmnya diisi ajang tindakan. Josh Cooley seperti pelajari pengetahuan Bayhem (di luar kurang kuatnya presentasi sinetron, kepiawaian Bay menyelesaikan tindakan tidak dapat didugal), menggunakan banyak shot istimewa, “gerak camera” aktif saat beberapa robot sama-sama baku hajar, khususnya di set pucuk yang epik.
Kesetimbangan. Tersebut kunci keberhasilan Transformers One. Mendatangkan tindakan hebat tidak berarti lupakan penceritaan, begitupun kebalikannya. Di film ini, alih bentuk beberapa Transformers bukan hanya style-gayaan, tetapi gestur kebebasan. Kebebasan untuk berbeda dan pilih jadi apa pun itu.